Mesuji, 8 Oktober 2025 – Di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi petani sawit di wilayah pedesaan Lampung, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Mesuji muncul sebagai suara perwakilan bagi ratusan petani plasma sawit di Desa Labuhan Baru, Kecamatan Way Serdang. Mereka menyoroti isu krusial berupa penolakan berulang atas pengiriman buah sawit ke Pabrik TBL-BW di Simpang Pematang, yang diduga menimbulkan kerugian finansial signifikan bagi mitra perusahaan tersebut.
Narasi ini tidak hanya mengungkap ketidakadilan yang dirasakan petani, tetapi juga menekankan kebutuhan akan transparansi dan kebijakan yang lebih inklusif di industri kelapa sawit, sambil mempertimbangkan perspektif operasional pabrik.Baru mengeluhkan praktik penolakan buah sawit mereka oleh Pabrik TBL-BW, yang sering kali didasarkan pada alasan bahwa buah tersebut “magel” atau belum mencapai tingkat kematangan optimal. Situasi ini telah berlangsung berulang kali, memaksa petani untuk menanggung biaya panen dan transportasi yang sia-sia, serta kehilangan pendapatan potensial dari hasil panen yang seharusnya layak olah.
Menurut data awal dari keluhan yang dikumpulkan, penolakan ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan petani plasma yang bergantung pada kemitraan jangka panjang dengan perusahaan, tetapi juga berpotensi mengganggu rantai pasok sawit di kawasan Mesuji yang bergantung pada perkebunan plasma sebagai pilar ekonomi lokal. Meski demikian, pihak pabrik belum merespons secara resmi atas tudingan ini, yang menambah lapisan ketidakpastian bagi komunitas petani.
Tokoh sentral dalam isu ini adalah Ketua DPC GRIB Jaya Mesuji, Apri Susanto, SH, MH, yang secara vokal menyuarakan aspirasi petani melalui pertemuan dan pernyataan publik. Apri, yang dikenal sebagai advokat hak-hak masyarakat di Kabupaten Mesuji, mengumpulkan kesaksian langsung dari petani dan supir pengangkut, termasuk perwakilan petani berinisial HS dari Way Serdang. HS, sebagai juru bicara informal bagi kelompoknya, menyatakan kekecewaan mendalam atas ketidakadilan yang dirasakan, bahkan mengusulkan opsi radikal seperti pengembalian pengelolaan kebun plasma ke tangan petani secara independen. Di sisi lain, petani plasma ini merupakan mitra historis Pabrik TBL-BW, yang selama ini telah menjalin kontrak kerjasama untuk pengolahan buah sawit.
Sementara itu, dugaan perlakuan diskriminatif muncul dari laporan supir yang mengamati penerimaan buah mentah dari petani non-plasma, menunjukkan adanya dinamika internal di pabrik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk manajemen TBL-BW dan pemasok eksternal.
Peristiwa ini mencuat pada Rabu, 8 Oktober 2025, di Desa Labuhan Baru, Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung. Lokasi ini, yang terletak di kawasan perkebunan sawit yang subur, menjadi pusat aktivitas petani plasma yang mengirimkan hasil panen mereka ke Pabrik TBL-BW di Simpang Pematang, sekitar 20-30 kilometer dari desa tersebut. Kronologi penolakan telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir, dengan puncak keluhan yang disuarakan melalui DPC GRIB pada hari yang sama, di mana Apri Susanto menggelar diskusi dengan petani untuk mengumpulkan bukti dan merumuskan tuntutan. Waktu panen sawit yang musiman, khususnya pada periode akhir tahun, memperburuk dampaknya, karena petani kehilangan momentum penjualan di pasar yang fluktuatif
Alasan utama penolakan, menurut petani, adalah ketidaksesuaian penilaian kematangan buah sawit. Apri Susanto menekankan bahwa buah yang dipanen sudah menunjukkan tanda “brondol” – yaitu mulai terlepas dari tandan – yang secara agronomis menandakan fase matang dan siap untuk diolah menjadi minyak sawit. Namun, petani menduga adanya standar ganda di pabrik, di mana buah mentah dari petani independen atau non-plasma justru diterima, seperti yang disaksikan oleh supir pengangkut melalui tumpukan buah di area penerimaan. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi langsung – diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah per musim panen bagi kelompok plasma – tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap program plasma yang seharusnya memberdayakan petani kecil melalui kemitraan berkelanjutan. Dari perspektif berimbang, pabrik mungkin menerapkan kriteria kualitas ketat untuk menjaga standar produksi dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan serta sertifikasi sawit berkelanjutan (seperti ISPO atau RSPO), meskipun tudingan diskriminasi ini menuntut verifikasi independen untuk menghindari eskalasi konflik sosial di Mesuji, daerah yang rentan terhadap isu agraria.
Proses pengumpulan keluhan dilakukan melalui wawancara langsung dengan petani dan supir, yang mengungkap pola penolakan yang sistematis. Apri Susanto, mengutip laporan lapangan, menyatakan bahwa supir melihat “bukti nyata” berupa buah mentah dari luar plasma yang tetap diproses, sementara panen plasma yang matang ditolak. Respons petani, seperti pernyataan HS, mencerminkan frustrasi yang mendalam: “Kontrak kami sudah selesai bertahun-tahun lalu, dan kami bebas dari hutang.
DPC GRIB Jaya Mesuji kini mengambil langkah advokasi dengan mendesak pihak TBL-BW untuk mereview kebijakan penerimaan buah, memastikan kesetaraan bagi mitra plasma, dan menyediakan solusi konkret seperti audit independen atau pelatihan penilaian kualitas. Hingga kini, belum ada konfirmasi dari perusahaan, tetapi isu ini berpotensi melibatkan instansi pemerintah terkait untuk mediasi, mengingat dampaknya terhadap keberlangsungan untuk keluarga petani di Labuhan Baru.
Sementara keluhan petani tampak didukung oleh kesaksian lapangan yang kredibel, perspektif pabrik – yang mungkin difokuskan pada efisiensi operasional dan kualitas ekspor – perlu didengar untuk mencapai resolusi yang adil. DPC GRIB berharap intervensi cepat dapat mencegah eskalasi, memastikan bahwa petani plasma tetap menjadi tulang punggung ekonomi Mesuji tanpa mengorbankan standar industri.

