Mesuji, Lampung – 10 Oktober 2025 – Di tengah isu pengelolaan lahan hutan yang semakin krusial, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Mesuji secara tegas menyoroti dugaan penyalahgunaan Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Silva Inhutani. Perusahaan ini, yang secara hukum diwajibkan memanfaatkan lahan seluas ribuan hektar untuk pengembangan hutan industri, justru diduga telah mengalihfungsikan sebagian besar arealnya menjadi perkebunan tebu. Langkah ini tidak hanya melanggar ketentuan izin, tetapi juga berpotensi memicu kerugian negara, konflik sosial di kalangan masyarakat setempat, serta degradasi lingkungan yang signifikan di wilayah Kabupaten Mesuji, Lampung.
Panggilan untuk tindakan tegas datang langsung dari Ketua DPC GRIB Jaya Mesuji, Apri Susanto, S.H., M.H., yang menyampaikan keprihatinannya melalui pernyataan resmi pada pertengahan minggu ini. Apri menekankan bahwa dugaan penyalahgunaan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan ancaman serius terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat Mesuji. “Kami sangat prihatin karena ini merugikan negara secara finansial, sekaligus berisiko memicu konflik sosial antarwarga dan merusak ekosistem hutan yang vital,” ujar Apri. Menurutnya, alih fungsi lahan dari hutan tanaman industri ke perkebunan tebu telah mengubah karakter kawasan, yang seharusnya difokuskan pada produksi kayu berkelanjutan, menjadi aktivitas pertanian monokultur yang intensif.
Untuk memahami inti masalah, mari kita telusuri latar belakang hukumnya. PT Silva Inhutani memperoleh izin utamanya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 93/KPTS-2/1997 tanggal 17 Februari 1997. Dokumen ini secara eksplisit menetapkan perusahaan sebagai pemegang Izin Usutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 42.726 hektar di Kawasan Hutan Industri Register 45 Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Lampung. Kawasan ini, dengan luas total sekitar 43.100 hektar, secara keseluruhan berada di bawah penguasaan HGU milik PT Silva Inhutani.Hak Guna Usaha (HGU) sendiri didefinisikan sebagai hak untuk mengolah tanah negara dalam jangka waktu terbatas, khusus untuk kegiatan usaha pertanian, perikanan, atau peternakan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 serta Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Pemegang HGU wajib menjalankan usaha sesuai peruntukan, menjaga kesuburan tanah, dan mencegah kerusakan lingkungan. Dalam kasus ini, peruntukan HGU PT Silva Inhutani jelas untuk hutan industri, bukan perkebunan tebu yang lebih condong ke sektor pertanian komersial. Apri menambahkan, “Regulasi ini tegas: pemegang HGU harus mematuhi kewajiban lingkungan dan usaha yang ditetapkan, termasuk memelihara sumber daya alam agar tidak rusak.
Meskipun detail kronologi spesifik belum sepenuhnya terungkap, dugaan ini muncul berdasarkan pengamatan lapangan dan laporan masyarakat sejak beberapa tahun terakhir. Kawasan Register 45 Sungai Buaya, yang seharusnya menjadi pusat hutan tanaman industri untuk mendukung industri kayu nasional, kini sebagian besar ditanami tebu. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal izin tahun 1997, di mana PT Silva Inhutani diharapkan berkontribusi pada pengembangan hutan lestari. GRIB Jaya Mesuji mengklaim bahwa perubahan ini telah berlangsung secara bertahap, tanpa persetujuan resmi dari otoritas kehutanan, sehingga melanggar prinsip-prinsip tata ruang dan konservasi.
Dalam responsnya, GRIB Jaya Mesuji secara khusus mendesak pemerintah pusat untuk mengaktifkan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Satgas ini, yang dibentuk berdasarkan instruksi Presiden Prabowo Subianto, memiliki mandat utama untuk menangani penguasaan ilegal kawasan hutan oleh korporasi besar. “Kami meminta Satgas PKH segera melakukan pemeriksaan mendalam terhadap izin HGU PT Silva Inhutani. Jika terbukti ada penyimpangan, tindakan tegas harus diambil sesuai hukum yang berlaku, termasuk pencabutan izin jika diperlukan,” tegas Apri. Organisasi ini berharap prosesnya berjalan cepat, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat untuk memastikan akuntabilitas.Dampak Lingkungan dan Sosial.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, GRIB Jaya juga menyoroti dampak lingkungan yang mengkhawatirkan dari alih fungsi lahan ini. Perkebunan tebu yang intensif sering kali melibatkan penggunaan pestisida dan irigasi berlebih, yang dapat mengerosi tanah, mengurangi biodiversitas, dan mengganggu siklus air alami. Di Kabupaten Mesuji, hal ini dikaitkan dengan banjir tahunan di beberapa desa, di mana aliran sungai seperti Sungai Buaya menjadi tidak seimbang akibat hilangnya tutupan hutan. “Kami meminta pemerintah daerah dan instansi terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melakukan kajian dampak lingkungan (AMDAL) yang komprehensif. Ini bukan hanya soal hutan, tapi juga kehidupan masyarakat yang bergantung pada ekosistem ini,” lanjut Apri.Komitmen GRIB Jaya ke Depan.
Sebagai organisasi yang peduli pada isu lokal, GRIB Jaya Mesuji berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas. “Kami akan pantau perkembangannya dan dorong partisipasi warga agar keadilan tercapai. Pemerintah harus bertindak tegas demi kelestarian hutan Mesuji dan kesejahteraan rakyat,” pungkas Apri. Langkah ini sejalan dengan semangat nasional untuk menjaga kawasan hutan dari eksploitasi ilegal, terutama di daerah seperti Mesuji yang kaya akan potensi alam namun rentan terhadap konflik lahan.Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya pengawasan ketat terhadap izin lahan negara, agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas. Jika ada perkembangan terbaru, GRIB Jaya siap memberikan update lebih lanjut

